Monday, August 24, 2020

Keterkaitan Desa Wandanpuro dengan Kisah Petualangan Ken Angrok

Oleh: Mochamad Antik


"Agung sakalawonlawon sira ken Angrok, angon ta kalâwan sira tuwan Tita, agawe ta sira dukuh, kapêrnah wetaning Sagênggêng, tegal ing Sañja, pinakanggenira angadangadanga wong malintang hawan lawan sira tuwan Tita rowangira." (Padmapuspita, 1966: 12) 


Artinya: Sementara itu lama kelamaan Ken Angrok menjadi besar juga, menggembala kerbau dengan tuwan Tita, ia membuat pedukuhan (desa kecil) di sebelah timur Sagênggêng, di tempat perladangan Sañja, yang dipakainya sebagai tempat untuk mencegat orang lalu di jalan bersama-sama dengan tuwan Tita sebagai temannya (Hardjowardojo, 1965: 17-18)


Dikisahkan dalam Pararaton setelah Bango Samparan menemukan Ken Angrok atas petunjuk dewa, ia membawa Ken Angrok pulang ke rumahnya di Karuman. Kemudian Ken Angrok diangkat sebagai anak oleh istri pertama Bango Samparan yang bernama Genuk Buntu. Tetapi setelah cukup lama, Ken Angrok memutuskan meninggalkan kedua orang tua angkatnya karena berselisih dengan anak-anak Tirtaja, istri kedua Bango Samparan. Ken Angrok menuju Kapundungan dan bertemu dengan seorang penggembala bernama Tita, anak Sahaja, kepala desa Sagenggeng. Ken Angrok dianggap saudara oleh Tita dan diajaknya tinggal di rumahnya di Sagenggeng (Kasdi, 2008: 45).


Di Sagenggeng, Ken Angrok menemui seorang janggan (pujangga) untuk belajar membaca, perhitungan tanggal, dan sastra bersama saudara angkatnya, Tita. Selanjutnya Ken Angrok bertambah dewasa dan menggembala bersama Tita. Kemudian ia membangun sebuah perdukuhan di sebelah timur Sagenggeng, di tempat perladangan Sañja.  Di tempat inilah Ken Angrok menghadang setiap orang yang lewat bersama Tita temannya (Kriswanto, 2009: 19-25). 


Letak Sagenggeng umumnya telah disepakati sekarang adalah nama sebuah dusun di Desa Wonokerso yaitu Segenggeng. Letaknya berada di antara Kendalpayak menuju Gondanglegi. Tetapi tentang letak perladangan Sañja sampai saat ini masih belum teridentifikasi secara memuaskan. Habib Mustopo pernah menduga letak Sañja berada di Sanan, sebuah dukuh kecil di tepi Sungai Meri di utara Sempalwadak (Issatriadi, 1978: 39; Mustopo, 1984: 62). Tetapi bila dibandingkan dengan keterangan Pararaton yang menyebutkan bahwa Sañja terletak di sebelah timur Sagenggeng, penempatan lokasi Sañja di Sanan ini sepertinya kurang tepat. Karena letak Sanan tidak di sebelah timur Sagenggeng tetapi agak jauh berada di sebelah timur laut dari Segenggeng. 


Sedangkan Suwardono tidak melokasikan letak Sañja secara pasti. Ia hanya memperkirakan bahwa berdasarkan keterangan Pararaton letak Sañja berada di sebelah timur Sagenggeng maka letak Sañja seharusnya berada di sebelah timur antara Kendalpayak-Sagenggeng, kira-kira berada di sebelah barat Sungai Brantas atau mungkin di sebelah timurnya (Suwardono, 2013: 148).


Jika merunut keterangan dari Pararaton, bahwa letak Sañja di sebelah timur dari Sagenggeng maka kita mencoba mencari desa terdekat yaitu Desa Wandanpuro yang terletak tepat di seberang timur Sungai Brantas. Desa Wandanpuro adalah salah satu desa yang termasuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Bululawang, Kabupaten Malang. Desa Wandanpuro di selatan berbatasan dengan Desa Lumbangsari yang dipisahkan oleh sebuah sungai yaitu Kali Manten. Kali Manten merupakan anak Sungai Brantas dan bersumber di Poncokusumo. Di sebelah barat berbatasan dengan Desa Wonokerso dan Desa Karangduren dengan Sungai Brantas sebagai batas alamnya. Sedangkan di sebelah timur berbatasan dengan Desa Bululawang dan di sebelah utara dengan Desa Sempalwadak. Luas Desa Wandanpuro sekitar 228,213 Ha dan terdiri dari empat dukuh yaitu Dusun Sidomukti, Sidodadi, Sidorejo, dan Sidomulyo (desawandanpuro.blogspot.co.id). Tetapi di Desa Wandanpuro masih terdapat dua dusun lama yaitu Gurit dan Pesanggrahan. Pesanggrahan terletak di bagian utara dari Desa Wandanpuro dan Gurit agak di sebelah selatan.


Sekarang kita mencoba menelaah adakah hubungannya antara Sañja dan Wandanpuro. Kata Sañja menurut Zoetmulder memiliki arti 'kunjungan'. Cukup aneh dalam Pararaton nama Sañja digunakan sebagai nama tempat atau desa. Dalam bahasa Jawa Baru kata sañja masih dipakai tetapi dengan pengertian yang mirip yaitu bertandang atau berkunjung (Prawiroatmojo, 1989: 167). Bentuk kata lain dari kata Sañja antara lain asasañja, sinañjan, dan pasañjan. Yang menarik sebagai nama tempat, arti kata pasañjan menurut Zoetmulder yaitu ‘tempat menerima tamu’. Seperti kalimat dalam Serat Malat 8.98, “lah paduka batarâliŋgiha pukulan kapaŋgih  iŋ pasañjan kaŋ sinañjan iki” (Zoetmulder,  2011: 1031).


Sedangkan kata Pesanggrahan atau Sanggrahan berasal dari bahasa Jawa Kuno yaitu Pasanggrahan. Akar katanya berasal dari bahasa Sanskerta yaitu sanggraha. Menurut Zoetmulder, sanggraha memiliki beberapa arti yaitu 1. menangkapnya, merenggutnya, pertemuan bersama, 2. siap, menyiapkan diri, disiapkan; dilengkapi dengan, siap untuk menggunakan, 3. menyibukkan diri dengan, memperhatikan. Pasanggrahan sendiri memiliki arti ‘tempat yang disiapkan untuk menerima tamu-tamu’ (Zoetmulder, 2011: 1021-1022). Seperti contohnya kalimat di Kakawin Sumanasantaka 112.4, “marêk wruh ī tingkah ikang pasanggrahan.” Artinya: Mereka mendekat dan mengamati pengaturan tempat yang disiapkan untuk tamu (Worsley, 2014: 326-327). Kata pesanggrahan juga telah diserap ke dalam perbendaharaan kata Bahasa Indonesia dan memiliki arti ‘rumah penginapan kepunyaan pemerintah’ (Poerwadarminta, 1996: 746).


Dari uraian di atas kami mengambil kesimpulan bahwa yang dimaksud Sañja sebagai pedukuhan yang didirikan oleh Ken Angrok kemungkinan besar sekarang adalah Pesanggrahan atau Sanggrahan, di Desa Wandanpuro, Kecamatan Bululawang. Hal-hal yang menguatkan antara lain:

1. Arti kata Pesanggrahan (Pasanggrahan) yaitu ‘tempat yang disiapkan untuk menerima tamu-tamu’. Sedangkan Pasañjan (merupakan variasi kata Sañja yang menunjukkan nama tempat) mempunyai arti ‘tempat menerima tamu’. Jadi, antara kata Pesanggrahan dan Pasañjan memiliki arti kata yang sama.

2. Pesanggrahan terletak tepat di sebelah timur dari Sagenggeng, hanya sekitar 1 kilometer di seberang timur Sungai Brantas. Berdasarkan keterangan Pararaton, perdukuhan Sañja terletak di sebelah timur dari Sagenggeng (Topografische Dienst , 1938).

3. Letak Pesanggrahan sangat strategis berada di antara jalan utama Tumapel di utara dan Turyantapada (Turyyan) di selatan. Hal ini sesuai dengan keterangan Pararaton yang menyebutkan bahwa di Sañja Ken Angrok biasa menghadang orang yang melewati daerah itu (Muljana, 2005: 123).


Beberapa benda arkeologi yang ditemukan di Desa Wandanpuro semakin menguatkan bahwa Wandanpuro merupakan salah satu desa kuno. Temuan benda arkeologi itu disimpan di sebuah punden desa di Jalan Sidorejo I. Letak punden agak jauh dari pemukiman penduduk, di dekat tegalan dan perladangan tebu. Di samping punden tumbuh dua buah pohon beringin besar yang sudah berumur puluhan tahun. Salah satu pohon beringin tersebut roboh beberapa tahun lalu tetapi sekarang sudah tumbuh cukup besar. Di dalam punden tersebut terdapat tinggalan benda arkeologis berupa yoni, batu patok, sebuah arca mirip durga, sebuah batu mirip pedestal, sebuah batu diduga sandaran arca, dan sebuah benda mirip lumpang. Benda-benda tersebut disemen di lantai dalam punden.


Warga setempat menyebut punden ini sebagai Punden Mbah Singo karena menurut keyakinan mereka punden tersebut dijaga oleh seekor singa putih dan seringkali menampakkan dirinya. Selain itu menurut cerita sesepuh desa, setiap malam Senin dan Kamis di punden ini sebagai tempat berkumpul para arwah leluhur dari Lumbang, Sempalwadak, dari timur Jagapati, Gunung Semeru dan tempat lainnya. Di area punden yang cukup luas itu juga biasanya sering digunakan arena bermain dari kelompok kesenian bantengan Macan Putih dari Wandanpuro dan tradisi Suroan (smknovember10.wordpress.com).


Konon menurut cerita penduduk punden tersebut berkaitan juga dengan kisah seseorang yang pertama kali menemukan Desa Wandanpuro atau yang babat alas Wandanpuro. Mereka menganggap punden adalah sebuah tempat peristirahatan.  Karena terdapat jalan yang menuju Pesanggrahan atau Sanggrahan yang menurut penduduk mempunyai pengertian sebagai tempat peristirahatan. Konon di punden ini dahulu dijadikan tempat peristirahatan karena letaknya berdekatan dengan sumber mata air di daerah itu.


Tidak terlalu jauh dari punden terdapat sumber mata air dan saluran air dari Sungai Brantas. Penduduk sekitar biasanya menyebut mata air tersebut sebagai belik atau kucur. Untuk menuju sumber mata air ini harus berjalan menuruni jalan setapak sekitar 200 meter. Menurut penduduk setempat, batu yang mirip pedestal itu berasal dari mata air ini. Semula batu itu digunakan warga untuk keperluan mencuci pakaian. Namun kemudian baru diketahui ternyata di sisi bagian bawah batu terlihat seperti bentuk arca.


DAFTAR PUSTAKA


Hardjowardjojo, R.P. 1965. Pararaton. Jakarta: Bhratara

Kasdi, Aminuddin. 2008. Serat Pararaton Kajian Historis sebagai Sastra Sejarah. Surabaya: Unesa University Press

Issatriadi, Drs dan Tim. 1978. Sejarah Daerah Jawa Timur. Jakarta: Dep. Pendidikan dan Kebudayaan 

Kriswanto, Agung. 2009. Pararaton Alih Aksara dan Terjemahan. Jakarta: Wedatama Widya Sastra

Mardiwarsito, L. 1981. Kamus Jawa Kuna Indonesia. Ende: Nusa Indah

Mustopo, Habib & Tim Hari Jadi Kabupaten Malang. 1984. Dari Pura Kanjuruhan Menuju Kabupaten Malang. Malang: Pemkab Dati II Malang

Padmapuspita, Ki J. 1966. Pararaton Teks Bahasa Kawi Terdjemahan Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Taman Siswa

Poerwadarminta, W.J.S. 1996. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Poesponegoro, Marwatie Djoened dan tim. 2010. Sejarah Nasional Indonesia Zaman Kuno. Jakarta: Balai Pustaka

Prawiroatmodjo, S. 1989. Bausastra Jawa-Indonesia Jilid II. Jakarta: CV Haji Masagung

Schrieke, B.J.O. 2016. Kajian Historis Sosiologis Masyarakat Indonesia: Penguasa dan Kerajaan Jawa pada Masa Awal. Yogyakarta: Ombak

Muljana, Prof. Dr. Slamet. 2005. Menuju Puncak Kemegahan Sejarah Kerajaan Majapahit. Yogyakarta: LKiS

Muljana, Prof. Dr. Slamet. 1983. Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit. Jakarta: Inti Idayu Press

Suwardono. 2013. Tafsir Baru Kesejarahan Ken Angrok Pendiri Wangsa Rajasa. Yogyakarta: Ombak

Topografische Dienst . 1938. Garnizoenskaart Malang en Omstreken / herzien door den Topografischen Dienst in 1929-1931. Batavia : Reproductiebedrijf Topografische Dienst

Wojowasito, Drs. S. 1977. Kamus Kawi-Indonesia. Malang: CV Pengarang

Worsley, P. , S. Supomo & M. Fletchert. 2014. Kakawin Sumanasantaka Mati karena Bunga Sumanasa karya Mpu Monaguna Kajian Sebuah Puisi Epik Jawa Kuno. Jakarta: Pustaka Obor

Zoetmulder, P.J. & S.O. Robson. 2011. Kamus Jawa Kuna Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

www.desawandanpuro.blogspot.co.id

www.smknovember10.wordpress.com

Sunday, May 31, 2020

Unsur Penanggalan Jawa Kuno

Oleh : Nugroho Wibisono



A. Unsur Penanggalan Berdasar Waktu.

1) Warsa.
      Unsur paling besar dan biasanya ditulis paling awal adalah unsur penanggalan tahun atau Warsa. Prasasti dimasa Medang menggunakan tarikh Saka yang dimulai penggunaannya sekitar tahun 78 Masehi.
Tarikh Saka berasal dari India. merupakan salah satu unsur pengaruh kebudayaan India , dibuat oleh raja Salivahana yang memerintah sekitar tahun 78 Masehi di Pratishtana.
Tarikh ini digunakan secara resmi pada awal abad II Masehi. tarikh Saka dipakai di Asia Tenggara hingga di prasasti  prasasti di Kamboja dan Campa.
Satu tahun Saka dihitung berdasarkan gabungan perhitungan peredaranbulan dan matahari yang lamanya sekitar 360 hari dan terbagai dalam 12 bulan.
Awal tahun dimulai dari bulan Caitra dan berakhir pada bulan Phalguna.

2) Masa.
      Satu tahun Saka terdiri dari 12 bulan disebut dengan Masa, yang terdiri dari :

Saka India -  Saka Jawa - Masehi

 01. Caitra - Cetramasa - Maret  April

 02. Waishaka - Wesakhamasa - April  Mei

 03. Jyaistha - Jyesthamasa - Mei  Juni

 04. Asadha - Asadhamasa - Juni  Juli

 05. Sravana - Srawanamasa - Juli  Agustus

 06. Bhadrawada - Bhadrawadamasa - Agustus September

 07. Asvina - Asujimasa - September  Oktober

 08. Karttika - Kartikamasa - Oktober  Nopember

 09. Margasira - Margasiramasa - Nopember  Desember

 10. Posya - Posyamasa - Desember Januari

 11. Magha -  Maghamasa - Januari Pebruari

 12. Phalguna - Phalgunamasa - Pebruari Maret

 Jumlah hari untuk setiap bulan = 30 hari. Awal tahun adalah tanggal 1 Caitra.




3) Paksa.
      Setiap satu bulan terbagi dalam dua periode, yaitu :
a) Paruh Terang (Suklapaksa);
Dihitung saat bulan mulai terlihat hingga saat bulan terbentuk bulat penuh yang lamanya = 15 hari.
Sistim penanggalam pada prasasti  prasasti Medang merupakan suatu sistim penanggalan yang terdiri dari beberapa unsur penanggalan. Jumlah terbanyak unsur yang dimiliki pada prasasti Medang ada 15 unsur.
Sebagian unsur yang digunakan menggunakan unsur  unsur yang sama dengan yang digunakan di India, namun demikian ada beberpa perbedaan dalam penulisan dan pengucapan nama unsur penanggalan tersebut.
Unsur  unsur penanggalan tersebut adalah


4) Tithi.
      Dari satu bulan yang terdiri dari Suklapaksa dan Krsnapaksa yang masing  masing berjumlah 15 hari. karena itu tanggal atau tithi-nya dikenal sampai 15.
Penyebutan tanggal bukan seperti tanggal yang dikenal sekarang ini, tetapi lebih kepada penyebutan hari ke.. dari pemunculan bulan di langit pada malam hari.
Satu Tithi tepat 1/30 (sepertiga puluh) dari satu bulan pada penanggalan Masehi.
Sekali dalam dua bulan terjadi suatu Tithi yang dimulai setelah matahari terbit berakhir sebelum matahari terbenam. Tithi seperti itu merupakan Tithi yang hilang (ksaya tithi).
Sebagai akibatnya satu hari dari satu bulan, saat Tithi yang hilang itu berlangsung, juga hilang, sehingga bulan itu hanya berjumlah 29 hari.
Hari  hari Tithi yang ada dalam satu Paksa adalah :

  01. Pratipada
  02. Dwitiya
  03. Trêtya
  04. Caturthi
  05. Pancami
  06. Sasti
  07. Saptami
  08. Astami
  09. Nawami
  10. Dasami
  11. Ekadasti
  12. Dwadasi
  13. Trayodasi
  14. Caturdasi
  15. Pancadasi


 5). Wara.

      Salah satu unsur penanggalan yang penting lainnya adalah hari. Pada masa Jawa Kuno sudah dikenal satuan waktu hari yang disebut dengan Wara.
lama satu hari dihitung dari saat matahari terbit hingga matahari terbit kembali pada hari berikutnya.
Perhitungan Wara dilakukan dengan memasukkannya dalam siklus  siklus hari yang terdapat pada prasasti Jawa Kuno, adalah :






a) Siklus 5 hari = Pancawara, nama Pancawara :

 Pancawara
 Disingkat *)
Warna
Daerahnya
Sewanya

  01. Pahing
  Pa
  Merah
  Selatan
  Brahma

  02 Pon
  Po
  Kuning
  Barat
  Mahadewa

  03. Wagai
  Wa
  Hitam
  Utara
  Wisnu

  04. Kaliwuan
  Ka
  Campuran
  Tengah
  Guru

  05. Umanis
  U atau Ma
  Putih
  Timur
  Iswara

*) singkatan yang biasa dipakai pada penulisan prasasti

b) Siklus 6 hari = Sadwara;
  Sadwara
 Disingkat *)

  01. Tunglai
  Tu(ng)

  02. Hariyang
  Ha

  03. Wurukung
  Wu

  04. Paniruan
  Pa

  05. Was
  Wa

  06. Mawulu
  Ma

*) singkatan yang biasa dipakai pada penulisan prasasti

c) Siklus 7 hari = Saptawara.
Saptawara
Disingkat *)

  01. Raditya / Aditya
  Minggu
  Ra atau A

  02. Soma
  Senin
  So

  03. Anggara
  Selasa
  Ang

  04. Budha
  Rabu
  Bu

  05. Wrhaspati
  Kamis
  Wr

  06. Sukra
  Jumát
  Su

  07. Saniscara
  Sabtu
  Sa

 *) singkatan yang biasa dipakai pada penulisan prasasti


6). Karana.

      Satuan waktu yang lebih kecil dari hari adalah Karana. Ukuran waktu satu Karana = setengah Tithi atau lebih tepatnya = 0,492 hari.
Dalam satu hari ada 2 karana atau 60 Karana dalam 1 bulan.
Nama Karana pertama setiap bulan adalah Kimtughna, kemudian Wawa, Walawa, Kolawa, Taithila, Garadi, Wanija, Wisti, sesudahnya kembali lagi ke Wawa dan seterusnya, hingga tiga Karana terakhir yaitu Sakuni Naga dan Catuspada.

7) Wuku.
      Perhitungan Wuku berdasarkan siklus 7 hari atau Saptawara, setiap siklus 7 hari disebut 1 Wuku, Satu siklus Wuku terdiri dari 30 Wuku, yaitu :

  01. Sinta
  02. Landêp
  03. Wukir

  04. Kurantil
  05. Tolu
  06. Gumbrêg

  07. Wariga ning Wariga
  08. Wariga
  09. Julungwangi

  10. Sunsang
  11. Dungulan
  12. Kuningan

  13. Langkir
  14. Mandasiha
  15. Julung Pujut

  16. Pahang
  17. Kuruwlut
  18. Marakih

  19. Tambir
  20. Madangkungan
  21. Mahatal

  22. Wuyai
  23. Manahil
  24. Prang Bakat

  25. Balamukti
  26. Wugu wugu
  27. Wayang wayang

  28. Kulawu
  29. Dukut
  30. Watu Gunung


8) Muhirta.
      Didalam prasasti ada satuan waktu terkecil yang dikenal dengan nama Muhirta.
Muhirta adalah saat tertentu untuk memulai upacara, bepergian dan lain  lain.
Dalam perhitungan waktu di India dikenal ada 30 Muhirta dalam satu hari atau dalam 24 jam yang dikenal sekarang.
Satu Muhirta = 24 jam : 30 = 48 menit.

B. Unsur Penanggalan berdasarkan Peredaran Benda  benda Langit.



9) Yoga.
      Yoga adalah satu unsur penanggalan yang sering digunakan dalam penanggalan prasasti , Unsur ini juga merupakan salah satu unsur penting dalam sistem penanggalan di India.
Yoga adalah waktu selama gerak bersamaan antara bulan dan matahari pada posisi 130 20. Dalam satu putaran bulan mengelilingi bumi ada 360o dibagi (:) 130 20 = 27 Yoga.
Satu Yoga lamanya = 0,941 hari, dengan demikian 27 Yoga akan membutuhkan 25,420 hari.
Nama  nama Yoga, adalah :

  01. Wiskambha
  02. Priti
  03. Ayusman

  04. Sobhagya
  05. Sobana
  06. Atiganda

  07. Sukarman
  08. Dhrti
  09. Sula

  10. Ganda
  11. Wrddhi
  12. Dhrwa

  13. Wyatighata
  14. Harsana
  15. Bajra

  16. Sidhi
  17. Wyatipati
  18. Wariyan

  19. Parigha
  20. Siwa
  21. Sidha

  22. Sadya
  23. Subha
  24. Sukla

  25. Brahma
  26. Indra
  27. Waidhrti


10) Naksatra.
      Unsur penanggalan penting lainnya adalah Naksatra atau kelompok bintang.
Ada 27 Naksatra dalam satu siklus, yaitu :

  01.Aswini
  02. Bharani
  03. Krtikka

  04. Rohini
  05. Mrgasiras
  06. Ardra

  07. Purnnawasu
  08. Pusya
  09. Aslesa

  10. Magha
  11. Purwa Palguni
  12. Uttara Palguni

  13. Hasta
  14. Citra
  15. Swati

  16. Wishaka
  17. Anuradha
  18. Jyest(h)a

  19. Mula
  20. Purwasadha
  21. Utarasadha

  22. Srawana
  23. Dhanistha
  24. Satabhisa

  25. Purwa Bhadrawada
  26. Utara Bhadrawada
  27. Rewati


Lamanya satu Naksatra bila dihitung dengan hari = 1,012 hari, sehingga 27 Naksatra akan memerlukan waktu selama 27,324 hari.

11. Dewata.
      Nama  nama Dewata yang sering ditemukan dalam prasasti  prasasti berhubungan dengan Naksatra-nya Dewata adalah penguasa dari waktu yang ditunjukkan dengan Nasksatra-nya.
Nama  nama Dewata itu adalah :

  01. Aswina
  02. Yama
  03. Agni

  04. Prajapati
  05. Soma
  06. Rudra

  07. Aditi
  08. Brhaspati
  09. Sarpa(h)

  10. Pitaro(ah)
  11. Bhaga
  12. Aryaman

  13. Sawitr
  14. Twastr
  15. Wayu

  16. Sakra
  17. Mitra
  18. Indra

  19. Apah
  20. Wiswadewah
  21. Wisnu

  22. Wasawah
  23. Ajapada
  24. Ahirbudhnya

  25. Pusa(n)
  26. Naksatra Satabhisa
  27. Naksatra Mula.


12. Grahacara.
      Unsur penanggalan lainnya adalah Graha, yaitu planet. Menurut penanggalan India terdapat 7 buah planet, yaitu :

  01. Ravi atau Surya = Matahari
  02. Candra atau Soma = Rembulan

  03. Sukra = Venus
  04. Budha = Merkurius

  05. Manggala = Mars
  06. Brhaspati = Jupiter

  07. Sani = Saturnus



Nama  nama Graha yang pernah tercantum dalam prasasti  prasasti Jawa Kuno sebanyak 11 buah, yaitu :





  01. Nairithistha, posisi : barat daya
  02. Agneyastha, posisi : tenggara

  03. Anggarastha, posisi : barat laut
  04. Adityasthana, posisi : timur

  05. Sunyasthana, posisi : tengah
  06. Uttarasthana, posisi : utara

  07. Daksinastha, posisi : selatan
  08. Pascimastha, posisi : barat

  09. Purwaasthana, posisi : timur
  10. Bayabyastha, posisi : barat laut

  11. Aisanyastha, posisi : timur laut



13. Parwesa.
       Unsur penanggalan ini jarang dibicarakan. Parwesa adalah nama dari suatu kelompok perbintangan atau penguasa tempat Astron, tetapi tidak ada keterangan lebih lanjut mengenai kelompok bintang mana yang dimaksudkan disini.
Dari prasasti  prasasti diperoleh beberapa nama Parwesa : Sasi, Brahma, Kuwera, Nairitya, Yama, Agni, Baruna, Kala dan Indra.

14. Mandhala.
       Unsur penanggalan ini adalah lintasan edar atau orbit daribenda angkasa.
mandhala adalah tiap  tiap daerah dari 8 pembagian langit tempat Naksatra berada.
Nama  nama dari Mandalah, adalah :


  01. Mahendra, penguasa : timur
  02. Kuwera,penguasa : utara

  03. Baruna, penguasa : barat
  04. Yama, penguasa selatan

  05. Agni, penguasa : tenggara
  06. Surya, penguasa : barat daya

  07. Wayu, penguasa : barat laut
  08. Siwa, penguasa : timur laut


Pembagian ini sama dengan pembagian dewa  dewa penjaga arah mata angin atau dikenal dengan Astadikpalaka.

15. Rasi.
      Rasi atau Zodiak pembagian langit secara geometris yang dapat diidentifikasi secara visual dengan bintang  bintang penanda. Pergerakan Matahari secara 3600 dibagi menjadi 12 bagian, masing  masing berukuran 300 dan diberikan nama sesuai dengan kelompok bintang yang terletak berdekatan dengannya.
Rasi berarti sejumlah atau sekelompok bintang.
Jumlah Zodiak yang digunakan dalam prasasti  prasasti Jawa Kuno sama dengan yang digunakan dan dikenal sampai sekarang, yaitu 12 Zodiak dalam jangka waktu 1 tahun, yaitu :

  01. Mesa = Aries
  02. Wrsabha = Taurus

  03. Mithuna = Gemini
  04. Karka(ta) = Cancer

  05. Singha = Leo
  06. Kanya = Virgo

  07. Tula = Libra
  08. Vrscika = Scorpio

  09. Dhanu(s) = Sagitarius
  10. Makara = Capricornus

  11. Kumbha = Aquarius
  12. Mina = Pisces


Menurut de Casparis, Zodiak dalam sistim penanggalan India merupakan unsur penanggalan yang digunakan untuk menentukan keistimewaan suatu hari, namun di Jawa untuk menentukan keistimewaan suatu hari itu digunakan kombinasi hari (wara) maupun wuku. Namun unsur penanggalan ini banyak dicantumkan didalam prasasti  prasasti Jawa Kuno terutama pada prasasti  prasasti abad ke 12 Masehi.

Tuesday, February 25, 2020

Apa Benar Jawa Kuno Tidak Kenal Kosakata "Kalah" dan "Ngalah"??

Oleh : Heri Purwanto.

Beberapa kali saya membaca artikel yang bertebaran di Google, yang menyebutkan bahwa bahasa Jawa Kuno (Kawi) tidak punya kosakata "kalah" dan "ngalah". Bahwa kosakata tersebut baru ada di era Jawa Baru sejak diperkenalkan Walisongo. Apa iya?

Para penulis artikel tersebut mengatakan bahwa orang Jawa Kuno kalau berkelahi cuma kenal dua istilah : "menang" atau "mati". Mereka tidak kenal kosakata "kalah". Hingga akhirnya, Walisongo memperkenalkan kosakata "ngalah" yang artinya : menuju ke Allah (tawakal).

Tulisan mereka diperkuat catatan Antonio Pigaffeta yang menyebutkan bahwa orang Jawa zaman itu sangat sombong, maunya menang sendiri.

Saya heran, naskah mana yang menyebut Antonio Pigaffeta nulis begitu? Antonio Pigaffeta adalah pengikut rombongan Ferdinand Magellans yang punya misi mengelilingi dunia, tapi tidak melewati Pulau Jawa. Adapun yang pernah menulis tentang watak orang Jawa adalah Tome Pires dari Portugal dalam bukunya yang berjudul Suma Oriental. Bukan Antonio Pigaffeta.

Lagipula, fakta sejarah membuktikan Raden Wijaya pendiri Majapahit pernah terdesak melawan tentara Jayakatwang, hingga mengungsi ke Madura. Itu artinya, pendapat bahwa orang Jawa hanya memilih Menang atau Mati tidaklah benar, karena Raden Wijaya memilih Kalah.

Pertanyaan yang mengusik saya, Walisongo mana yang disebut telah menciptakan kata "ngalah"? Kitab apa yang digunakan sebagai rujukan kok bisa tahu bahwa kata "ngalah" baru ada di era Walisongo? Atau jangan-jangan itu hanya gugon-tuhon belaka?

Sedangkan kalau kita mau membuka kamus Jawa Kuno, kata "kalah" dan "ngalah" ada banyak kok.

Misalnya, Sumpah Palapa yang diucapkan Gajah Mada berbunyi : Lamun huwus kalah Nusantara, isun amukti palapa.
Jadi, tidak benar kalau dibilang, orang Jawa cuma kenal kosakata "menang" dan "mati".

Dalam bahasa Jawa Kuno, kata dasar dari "kalah" dan "ngalah" adalah "alah", yang berasal dari bahasa Proto-Austronesia : alaq

alah + awalan ka = kālah
- Jawa Kuno : kālah
- Jawa Baru : kalah

alah + awalan maN = mangalah
- Jawa Kuno : mangalah, angalah
- Jawa Baru : hangalah, ngalah

Contoh kalimatnya bisa dilihat pada gambar di bawah ini, lengkap dengan sumber naskahnya.

Nuwun.