Oleh: Mochamad Antik
"Agung sakalawonlawon sira ken Angrok, angon ta kalâwan sira tuwan Tita, agawe ta sira dukuh, kapêrnah wetaning Sagênggêng, tegal ing Sañja, pinakanggenira angadangadanga wong malintang hawan lawan sira tuwan Tita rowangira." (Padmapuspita, 1966: 12)
Artinya: Sementara itu lama kelamaan Ken Angrok menjadi besar juga, menggembala kerbau dengan tuwan Tita, ia membuat pedukuhan (desa kecil) di sebelah timur Sagênggêng, di tempat perladangan Sañja, yang dipakainya sebagai tempat untuk mencegat orang lalu di jalan bersama-sama dengan tuwan Tita sebagai temannya (Hardjowardojo, 1965: 17-18)
Dikisahkan dalam Pararaton setelah Bango Samparan menemukan Ken Angrok atas petunjuk dewa, ia membawa Ken Angrok pulang ke rumahnya di Karuman. Kemudian Ken Angrok diangkat sebagai anak oleh istri pertama Bango Samparan yang bernama Genuk Buntu. Tetapi setelah cukup lama, Ken Angrok memutuskan meninggalkan kedua orang tua angkatnya karena berselisih dengan anak-anak Tirtaja, istri kedua Bango Samparan. Ken Angrok menuju Kapundungan dan bertemu dengan seorang penggembala bernama Tita, anak Sahaja, kepala desa Sagenggeng. Ken Angrok dianggap saudara oleh Tita dan diajaknya tinggal di rumahnya di Sagenggeng (Kasdi, 2008: 45).
Di Sagenggeng, Ken Angrok menemui seorang janggan (pujangga) untuk belajar membaca, perhitungan tanggal, dan sastra bersama saudara angkatnya, Tita. Selanjutnya Ken Angrok bertambah dewasa dan menggembala bersama Tita. Kemudian ia membangun sebuah perdukuhan di sebelah timur Sagenggeng, di tempat perladangan Sañja. Di tempat inilah Ken Angrok menghadang setiap orang yang lewat bersama Tita temannya (Kriswanto, 2009: 19-25).
Letak Sagenggeng umumnya telah disepakati sekarang adalah nama sebuah dusun di Desa Wonokerso yaitu Segenggeng. Letaknya berada di antara Kendalpayak menuju Gondanglegi. Tetapi tentang letak perladangan Sañja sampai saat ini masih belum teridentifikasi secara memuaskan. Habib Mustopo pernah menduga letak Sañja berada di Sanan, sebuah dukuh kecil di tepi Sungai Meri di utara Sempalwadak (Issatriadi, 1978: 39; Mustopo, 1984: 62). Tetapi bila dibandingkan dengan keterangan Pararaton yang menyebutkan bahwa Sañja terletak di sebelah timur Sagenggeng, penempatan lokasi Sañja di Sanan ini sepertinya kurang tepat. Karena letak Sanan tidak di sebelah timur Sagenggeng tetapi agak jauh berada di sebelah timur laut dari Segenggeng.
Sedangkan Suwardono tidak melokasikan letak Sañja secara pasti. Ia hanya memperkirakan bahwa berdasarkan keterangan Pararaton letak Sañja berada di sebelah timur Sagenggeng maka letak Sañja seharusnya berada di sebelah timur antara Kendalpayak-Sagenggeng, kira-kira berada di sebelah barat Sungai Brantas atau mungkin di sebelah timurnya (Suwardono, 2013: 148).
Jika merunut keterangan dari Pararaton, bahwa letak Sañja di sebelah timur dari Sagenggeng maka kita mencoba mencari desa terdekat yaitu Desa Wandanpuro yang terletak tepat di seberang timur Sungai Brantas. Desa Wandanpuro adalah salah satu desa yang termasuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Bululawang, Kabupaten Malang. Desa Wandanpuro di selatan berbatasan dengan Desa Lumbangsari yang dipisahkan oleh sebuah sungai yaitu Kali Manten. Kali Manten merupakan anak Sungai Brantas dan bersumber di Poncokusumo. Di sebelah barat berbatasan dengan Desa Wonokerso dan Desa Karangduren dengan Sungai Brantas sebagai batas alamnya. Sedangkan di sebelah timur berbatasan dengan Desa Bululawang dan di sebelah utara dengan Desa Sempalwadak. Luas Desa Wandanpuro sekitar 228,213 Ha dan terdiri dari empat dukuh yaitu Dusun Sidomukti, Sidodadi, Sidorejo, dan Sidomulyo (desawandanpuro.blogspot.co.id). Tetapi di Desa Wandanpuro masih terdapat dua dusun lama yaitu Gurit dan Pesanggrahan. Pesanggrahan terletak di bagian utara dari Desa Wandanpuro dan Gurit agak di sebelah selatan.
Sekarang kita mencoba menelaah adakah hubungannya antara Sañja dan Wandanpuro. Kata Sañja menurut Zoetmulder memiliki arti 'kunjungan'. Cukup aneh dalam Pararaton nama Sañja digunakan sebagai nama tempat atau desa. Dalam bahasa Jawa Baru kata sañja masih dipakai tetapi dengan pengertian yang mirip yaitu bertandang atau berkunjung (Prawiroatmojo, 1989: 167). Bentuk kata lain dari kata Sañja antara lain asasañja, sinañjan, dan pasañjan. Yang menarik sebagai nama tempat, arti kata pasañjan menurut Zoetmulder yaitu ‘tempat menerima tamu’. Seperti kalimat dalam Serat Malat 8.98, “lah paduka batarâliŋgiha pukulan kapaŋgih iŋ pasañjan kaŋ sinañjan iki” (Zoetmulder, 2011: 1031).
Sedangkan kata Pesanggrahan atau Sanggrahan berasal dari bahasa Jawa Kuno yaitu Pasanggrahan. Akar katanya berasal dari bahasa Sanskerta yaitu sanggraha. Menurut Zoetmulder, sanggraha memiliki beberapa arti yaitu 1. menangkapnya, merenggutnya, pertemuan bersama, 2. siap, menyiapkan diri, disiapkan; dilengkapi dengan, siap untuk menggunakan, 3. menyibukkan diri dengan, memperhatikan. Pasanggrahan sendiri memiliki arti ‘tempat yang disiapkan untuk menerima tamu-tamu’ (Zoetmulder, 2011: 1021-1022). Seperti contohnya kalimat di Kakawin Sumanasantaka 112.4, “marêk wruh ī tingkah ikang pasanggrahan.” Artinya: Mereka mendekat dan mengamati pengaturan tempat yang disiapkan untuk tamu (Worsley, 2014: 326-327). Kata pesanggrahan juga telah diserap ke dalam perbendaharaan kata Bahasa Indonesia dan memiliki arti ‘rumah penginapan kepunyaan pemerintah’ (Poerwadarminta, 1996: 746).
Dari uraian di atas kami mengambil kesimpulan bahwa yang dimaksud Sañja sebagai pedukuhan yang didirikan oleh Ken Angrok kemungkinan besar sekarang adalah Pesanggrahan atau Sanggrahan, di Desa Wandanpuro, Kecamatan Bululawang. Hal-hal yang menguatkan antara lain:
1. Arti kata Pesanggrahan (Pasanggrahan) yaitu ‘tempat yang disiapkan untuk menerima tamu-tamu’. Sedangkan Pasañjan (merupakan variasi kata Sañja yang menunjukkan nama tempat) mempunyai arti ‘tempat menerima tamu’. Jadi, antara kata Pesanggrahan dan Pasañjan memiliki arti kata yang sama.
2. Pesanggrahan terletak tepat di sebelah timur dari Sagenggeng, hanya sekitar 1 kilometer di seberang timur Sungai Brantas. Berdasarkan keterangan Pararaton, perdukuhan Sañja terletak di sebelah timur dari Sagenggeng (Topografische Dienst , 1938).
3. Letak Pesanggrahan sangat strategis berada di antara jalan utama Tumapel di utara dan Turyantapada (Turyyan) di selatan. Hal ini sesuai dengan keterangan Pararaton yang menyebutkan bahwa di Sañja Ken Angrok biasa menghadang orang yang melewati daerah itu (Muljana, 2005: 123).
Beberapa benda arkeologi yang ditemukan di Desa Wandanpuro semakin menguatkan bahwa Wandanpuro merupakan salah satu desa kuno. Temuan benda arkeologi itu disimpan di sebuah punden desa di Jalan Sidorejo I. Letak punden agak jauh dari pemukiman penduduk, di dekat tegalan dan perladangan tebu. Di samping punden tumbuh dua buah pohon beringin besar yang sudah berumur puluhan tahun. Salah satu pohon beringin tersebut roboh beberapa tahun lalu tetapi sekarang sudah tumbuh cukup besar. Di dalam punden tersebut terdapat tinggalan benda arkeologis berupa yoni, batu patok, sebuah arca mirip durga, sebuah batu mirip pedestal, sebuah batu diduga sandaran arca, dan sebuah benda mirip lumpang. Benda-benda tersebut disemen di lantai dalam punden.
Warga setempat menyebut punden ini sebagai Punden Mbah Singo karena menurut keyakinan mereka punden tersebut dijaga oleh seekor singa putih dan seringkali menampakkan dirinya. Selain itu menurut cerita sesepuh desa, setiap malam Senin dan Kamis di punden ini sebagai tempat berkumpul para arwah leluhur dari Lumbang, Sempalwadak, dari timur Jagapati, Gunung Semeru dan tempat lainnya. Di area punden yang cukup luas itu juga biasanya sering digunakan arena bermain dari kelompok kesenian bantengan Macan Putih dari Wandanpuro dan tradisi Suroan (smknovember10.wordpress.com).
Konon menurut cerita penduduk punden tersebut berkaitan juga dengan kisah seseorang yang pertama kali menemukan Desa Wandanpuro atau yang babat alas Wandanpuro. Mereka menganggap punden adalah sebuah tempat peristirahatan. Karena terdapat jalan yang menuju Pesanggrahan atau Sanggrahan yang menurut penduduk mempunyai pengertian sebagai tempat peristirahatan. Konon di punden ini dahulu dijadikan tempat peristirahatan karena letaknya berdekatan dengan sumber mata air di daerah itu.
Tidak terlalu jauh dari punden terdapat sumber mata air dan saluran air dari Sungai Brantas. Penduduk sekitar biasanya menyebut mata air tersebut sebagai belik atau kucur. Untuk menuju sumber mata air ini harus berjalan menuruni jalan setapak sekitar 200 meter. Menurut penduduk setempat, batu yang mirip pedestal itu berasal dari mata air ini. Semula batu itu digunakan warga untuk keperluan mencuci pakaian. Namun kemudian baru diketahui ternyata di sisi bagian bawah batu terlihat seperti bentuk arca.
DAFTAR PUSTAKA
Hardjowardjojo, R.P. 1965. Pararaton. Jakarta: Bhratara
Kasdi, Aminuddin. 2008. Serat Pararaton Kajian Historis sebagai Sastra Sejarah. Surabaya: Unesa University Press
Issatriadi, Drs dan Tim. 1978. Sejarah Daerah Jawa Timur. Jakarta: Dep. Pendidikan dan Kebudayaan
Kriswanto, Agung. 2009. Pararaton Alih Aksara dan Terjemahan. Jakarta: Wedatama Widya Sastra
Mardiwarsito, L. 1981. Kamus Jawa Kuna Indonesia. Ende: Nusa Indah
Mustopo, Habib & Tim Hari Jadi Kabupaten Malang. 1984. Dari Pura Kanjuruhan Menuju Kabupaten Malang. Malang: Pemkab Dati II Malang
Padmapuspita, Ki J. 1966. Pararaton Teks Bahasa Kawi Terdjemahan Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Taman Siswa
Poerwadarminta, W.J.S. 1996. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Poesponegoro, Marwatie Djoened dan tim. 2010. Sejarah Nasional Indonesia Zaman Kuno. Jakarta: Balai Pustaka
Prawiroatmodjo, S. 1989. Bausastra Jawa-Indonesia Jilid II. Jakarta: CV Haji Masagung
Schrieke, B.J.O. 2016. Kajian Historis Sosiologis Masyarakat Indonesia: Penguasa dan Kerajaan Jawa pada Masa Awal. Yogyakarta: Ombak
Muljana, Prof. Dr. Slamet. 2005. Menuju Puncak Kemegahan Sejarah Kerajaan Majapahit. Yogyakarta: LKiS
Muljana, Prof. Dr. Slamet. 1983. Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit. Jakarta: Inti Idayu Press
Suwardono. 2013. Tafsir Baru Kesejarahan Ken Angrok Pendiri Wangsa Rajasa. Yogyakarta: Ombak
Topografische Dienst . 1938. Garnizoenskaart Malang en Omstreken / herzien door den Topografischen Dienst in 1929-1931. Batavia : Reproductiebedrijf Topografische Dienst
Wojowasito, Drs. S. 1977. Kamus Kawi-Indonesia. Malang: CV Pengarang
Worsley, P. , S. Supomo & M. Fletchert. 2014. Kakawin Sumanasantaka Mati karena Bunga Sumanasa karya Mpu Monaguna Kajian Sebuah Puisi Epik Jawa Kuno. Jakarta: Pustaka Obor
Zoetmulder, P.J. & S.O. Robson. 2011. Kamus Jawa Kuna Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
www.desawandanpuro.blogspot.co.id
www.smknovember10.wordpress.com